Monday, December 14, 2015

Feodal VS Masyarakat Madani

Puluhan tahun silam ketika saya masih kecil, nun jauh di kampung halaman kami hidup sangat sederhana, minim informasi, polos tapi rukun. Masa kanak-kanak kami tetap ternikmati dengan bermain di sawah, di sungai atau di semak-semak. Sesederhana itu, tapi nikmat dan menggembirakan. Ketika kami sedang asik bermain, tiba2 kami berkerumun melihat teman baru yang berpakaian bersih masih seumuran dengan kami. kami semua kagum juga rada2 ragu untuk menyapa, karena dia ber bahasa Indonesia, sementara kami semua hanya paham bahasa kampung kami. Namanya anak2, bahasa bisa berbeda, tapi bermain tetap bisa cair, entah saling mengerti atau apa saya juga sampai sekarang bingung memikirkan hal itu.
di tengah ramai dan asyiknya bermain, tak sengaja lemparan batu mengena persis kepalanya dan berdarah. semua teman2 pada menyaalahkan saya, dan sampai pada orang tua. Ketika sampai di orang tua, masih saya ingat persis omongan orang tua itu kepada saya,"jangan main-main dengannya, dia itu anak negara!", membuat nyali saya makin ciut. yang saya pikirkan, saya dan orang tua saya akan dibawa ke kecamatan dan dihukum oleh negara.
Itu sekelumit cerita masa kecil, yang ternyata orang tua teman kami yg dari kota itu adalah seorang tentara. Sedemikian diagung-agungkan ketika itu seorang aparat, bahkan sampai anaknya juga harus dihormati, tidak boleh diganggu oleh siapapun, karena katanya kala itu, dia adalah anak negara.
Itu kejadian sekitar tahun 80 an, bahwa para penyelenggara atau aparat negara dianggap memiliki kelas tertinggi di kasta masyarakat kala itu. Rakyat harus tunduk kepada aparat, tidak boleh macam-macam, karena jika macam2 bisa2 kita diancam, baik oleh aparatnya sendiri atau sanak saudaranya.
Saya mengistilahkan kondisi kala itu adalah kondisi feodal. Rakyat harus bungkam, tidak boleh berkutik, melihat baju loreng saja kita sudah menggigil. Belum lagi saudaranya terkadang lebih garang dari aparatnya sendiri.
Tak heran di jaman itu, jika ada orang yang sok mau dihargai, sok mau dihormati akan dijuluki feodal. entah benar atau tidak istilah itu, saya juga tidak begitu merisaukannya. Ini hanya pembanding dengan situasi terkini dan yang akan terjadi.
Kini aparat harus lebih berhati-hati, karena situasi sudah berubah sejak bergulirnya reformasi. Mereka bukan lagi tuan yang harus disembah, merka bukan lagi orang bertangan besi yang musti dituruti. Situasi sudah berubah, kini rakyat lebih banyak bicara, salah2 sedikit aparat bisa kena damprat oleh hukum, karena semangat baru yang timbul yakni hukum adalah panglima dalam penyelenggaraan pemerintah.
Keadaan ini memang masih setengah hati, masih ada secuil yang arogan, masih ada segelintir yang memberdayakan fasilitas yang diberikan oleh negara demi kepentingan pribadinya. Masih belajar dan masih berusaha dalam tarnsformasi menuju masyarakat madani.
Masyarakat madani terwujud, maka rakyat lah yang benar2 memegang kekuasaan tertinggi di negara ini. sehingga para penyelenggara atau aparat negara akan mikir seribu kali untuk mempermainkan jabatannya demi kepentingan pribadi, karena rakyat akan mengontrol setiap langkah mereka.
Akan tiba waktunya, menjadi pejabat bukanlah kebanggaan tapi pengabdian yang benar2 tulus. Dan pada akhirnya, menjadi pengabdi di negeri ini tidak harus mengeluarkan uang untuk mewujudkannya, cukup dengan bekal ilmu pengetahuan dan niat baik. Sogok menyogok menjadi barang langka, bahkan bisa nihil. dan kemiskinan kolektif juga akan tidak ada lagi.
Menjadi pimpinan parpol juga akan menjadi lain, karena motifnya adalah pengabdian bukan niat memburu rente.
Bersiaplah menjadi agen pembaharu di negeri ini, menjadi pelopor sekaligus pelaku.

Semoga

No comments: